Di Indonesia banyak sekali kasus yang berhubungan dengan kode etik. Kasus-kasus seperti korupsi, penyuapan, penggelapan permasalahan laporan keuangan serta mafia pajak yang terjadi belakangan ini tentunya sangat bertentangan dengan kode etik. Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik dalam pemerintahan yang telah disebutkan melibatkan beberapa profesi yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik seperti pejabat administrasi negara, pegawai perpajakan, akuntan publik, dan lain sebagainya.
Berdasarkan
riset yang dilakukan Indonesia Corruption
Watch (ICW) dan Indonesia Budget Center (IBC), ditemukan bahwa anggaran untuk
dana hibah dan bantuan sosial (bansos) rawan diselewengkan untuk kepentingan
petahana (incumbent) dalam ajang pilkada sepanjang 2013.
Riset
itu sendiri dilakukan di lima
provinsi besar di Indonesia yaitu DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
“Dari
riset tersebut, ditemukan modus korupsi politik
dalam alokasi dana hibah untuk pemenangan pilkada, yaitu lembaga penerima
fiktif, lembaga penerima alamatnya sama, aliran dana ke lembaga yang dipimpin
keluarga atau kroni gubernur, dana hibah disunat, penerima bansos tidak
jelas," kata peneliti IBC, Roy Salam, dalam jumpa pers di kantor ICW,
Jakarta, Minggu (20/1).
Menurutnya,
hal itu bisa dilihat dari membengkaknya pengalokasian anggaran dari pos dana
bansos dan hibah menjelang pilkada. Serta, besarnya dana hibah dan bansos yang
turun setelah pilkada usai.
Namun
dalam kasus ini penulis memberikan contoh untuk daerah Banten yang terkait
kasus penyelewengan dana bantuan sosial dan hibah. Modus yang digunakan dalam
penggelapan dana bansos dan hibah biasanya berupa bantuan fiktif dan penyunatan
anggaran. Kadang, bantuan juga diberikan kepada organisasi yang tidak aktif,
tapi dibuat seolah-olah aktif. Aliansi Banten Menggugat (ABM) pernah mengadukan
masalah ini ke KPK. Mereka menyoroti dana bansos dan hibah sebagian ada yang
mengalir ke organisasi yang dipimpin Atut dan keluarganya.
·
KASUS
Jakarta
- Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan sejumlah modus
dalam penyelewangan dana bantuan sosial dan hibah di beberapa daerah. Para
pejabat diminta jangan main-main, sebab ancaman hukumannya bisa saja berlapis!
Wakil
Kepala PPATK Agus Santoso mengatakan, modus yang digunakan dalam penggelapan
dana bansos dan hibah biasanya berupa bantuan fiktif dan penyunatan anggaran.
Kadang, bantuan juga diberikan kepada organisasi yang tidak aktif, tapi dibuat
seolah-olah aktif.
"Biasanya
modusnya dengan menggunakan oknum-oknum binaan si pejabat. Orang-orang ini seolah-olah
adalah pengurus, dan mereka ini yang menyediakan formalitas antara lain nama
anggota fiktif dan palsu," jelas Agus saat berbincang dengan detikcom,
Jumat (1/11/2013).
Karena
itu, Agus mengimbau agar para pejabat berhati-hati dalam menyalurkan dana
bansos dan hibah. Bila terjerat korupsi dan pencucian uang, maka hukumannya
bisa akumulatif.
"Hati-hati
yang bermain dengan korupsi dan TPPU!" tegasnya.
Modus
yang disampaikan Agus ini cocok dengan temuan BPK dan sejumlah LSM pemerhati
korupsi di Banten. Mereka menemukan sejumlah penyelewengan yang diduga mengarah
pada kerugian negara.
Dalam
dokumen laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi
Banten tahun 2012, terungkap sejumlah masalah dalam penyaluran dana bansos dan
hibah. Ada yang berhubungan dengan pelaporan yang tak jelas dan kegiatan yang
fiktif.
Lalu,
Aliansi Banten Menggugat (ABM) pernah mengadukan masalah ini ke KPK. Mereka
menyoroti dana bansos dan hibah tahun anggaran 2009 sebesar Rp 14 miliar, 2011 yang digelontorkan Atut hingga Rp 340,4
miliar yang dibagikan kepada 221 lembaga/organisasi dan program bansos senilai
Rp 51 miliar. Jumlah tersebut dua kali lipat dari anggaran sebelumnya pada
tahun 2010 yang berjumlah Rp 239,270 miliar. Sebagian ada yang mengalir ke
organisasi yang dipimpin Atut dan keluarganya.
·
Tanggapan
Dengan
melihat rawannya penyalahgunaan dana hibah dan bantuan keuangan daerah yang dijadikan
lumbung uang baru bagi calon petahana untuk memenangkan pilkada dalam menjelang
pilkada besar, seharusnya pencairan dana hibah dan bansos ditunda, karena dana
ini dimungkinkan didistribusikan setelah pilkada di masing-masing daerah. Bahkan
perlu ada moratorium dana hibah dan bansos agar tidak disalahgunakan. Moratorium
penting, karena pengelolaan dana hibah dan bansos lemah dalam aspek
akuntabilitas, bertentangan dengan prinsip anggaran berbasis kinerja, dan sarat
untuk kepentingan politik yaitu menjadi modal pemenangan dalam pilkada. betapa
pentingnya aturan pembantasan anggaran menjelang pilkada.
Begitu
juga dibutuhkan peran aktif Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu), dalam memperhatikan penyalahgunaan dana bansos dan hibah
dalam pilkada.
Untuk
peraturan, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) harus mengeluarkan Peraturan
Mendagri (Permendagri) khusus untuk mengatur permasalahan tersebut. Sedangkan
KPU harus berani mendesak Pemerintah Daerah (Pemda) untuk tidak menggelontorkan
dana hibah dan bansos pada awal tahun ini.
Selain
itu, ia juga mendorong peran aktif BPK dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
dalam pengawasan dan penanganan kasus dana bansos dan hibah terkait pilkada
atau pemilu.
Sumber
: