PERLINDUNGAN KONSUMEN
1.
PENGERTIAN
KONSUMEN
Konsumen yaitu beberapa orang yang
menjadi pembeli atau pelanggan yang membutuhkan barang untuk mereka gunakan
atau mereka konsumsi sebagai kebutuhan hidupnya.
Pembangunan dan perkembangan
perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan
nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat
dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdaganan bebas yang didukung oleh
kemajuan teknologi telekomunikasi dan infomatika telah memperluas ruang gerak
arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara,
sehingga barang dan/atau jasa yang, ditawarkan bervariasi baik produksi luar
negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada satu pihak
mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau
jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan
untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan
keinginan dan kemampuan konsumen.
2.
ASAS
DAN TUJUAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Upaya perlindungan konsumen di tanah air
didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bias memberikan
arahan dalam implementasinya di tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan
tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang
benar-benar kuat.
A.
Asas
perlindungan konsumen
Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen
pasal 2, ada lima asas perlindungan konsumen.
a.
Asas
manfaat
Maksud asas ini adalah untuk
mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen
harus memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingankonsumen dan pelau
usaha secara keseluruhan.
b.
Asas
keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi
seluruh rakyat bias diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknyadan melaksanakan kewajibannya
secara adil.
c.
Asas
keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti material maupun spiritual.
d.
Asas
keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
e.
Asas
kepastian hukum
Asas ini
dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh
keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin
kepastian hukum.
B.
Tujuan
perlindungan konsumen
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3,
disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut.
a.
Meningkatkan
kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
b.
mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian barang dan/atau jasa.
c.
Meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen.
d.
Menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
e.
Menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
f.
Meningkatkan
kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa,
kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
3.
HAK
DAN KEWAJIBAN KONSUMEN
A.
Hak-Hak Konsumen
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen
memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen
sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan
mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap
dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa
bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia
tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar
oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen
pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :
a.
Hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
b.
Hak
untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi
serta jaminan yang dijanjikan .
c.
Hak
atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang/jasa.
d.
Hak
untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
e.
Hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
f.
Hak
untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
g.
Hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskrimainatif.
h.
Hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa
yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i.
Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga
terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang
kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum,
sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang disebutkan
tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang.
Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan
oleh pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal
dengan terminologi ” persaingan curang”.
Di Indonesia persaingan curang ini
diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP. Dengan demikian
jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah diaturnya
hak-hak konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999
tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga diatur tentang segala
sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya siapa yang melindungi
konsumen, bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya.
B.
Kewajiban
Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5
Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
a.
Membaca
atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b.
Beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c.
Membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d.
Mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
4.
HAK
DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha
juga memiliki hak dan kewajiban.
A.
Hak
pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
a.
hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b.
hak
untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik;
c.
hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
d.
hak
untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e.
hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
B.
Sedangkan
kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
a.
beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.
memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c.
memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d.
menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e.
memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
Bila diperhatikan dengan seksama, tampak
bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen.
Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku
usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima
pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan ketentuan umum
di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih
spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha
dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif,
tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.
5.
PERBUATAN
YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Ketentuan mengenai perbuatan yang
dilarang bagi pelaku usaha diatur dalamPasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-ketentuan
ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
a.
larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
b.
larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
c.
larangan
bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
Ada beberapa larangan bagi pelaku usaha
sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
a.
tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b.
tidak
sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c.
tidak
sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya;
d.
tidak
sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e.
tidak
sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
Tiap
bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di
bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak
jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur
melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku
usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang
disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus
dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga
memberikan larangan sebagai berikut:
(2) Pelaku usaha dilarang
memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang
memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan
tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
Ternyata cukup sulit untuk membedakan
rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah
tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan,
namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda
tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu
dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Ketentuan terakhir dari pasal ini
adalah: (4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan
ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib
menariknya dari peredaran.
6.
TANGGUNG
JAWAB PELAKU USAHA
Setiap pelaku usaha harus bertanggung
jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk
timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk
yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak
sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku
usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan
melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun
1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung
jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau
diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran,
kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21
mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi
jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa
pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana
sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang
membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita
konsumen, apabila :
a.
barang
tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk
diedarkan
b.
cacat
barang timbul pada kemudian hari;
c.
cacat
timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang ;
d.
kelalaian
yang diakibatkan oleh konsumen ;
e.
lewatnya
jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu
yang diperjanjikan
7.
SANKSI
BAGI PELAKU USAHA
Masyarakat boleh merasa lega dengan
lahirnya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun bagian
terbesar dari masyarakat kita belum tahu akan hak-haknya yang telah mendapat
perlindungan dalam undang-undang tesebut, bahkan tidak sedikit pula para pelaku
usaha yang tidak mengetahui dan mengindahkan UU Perlindungan Konsumen ini.
Dalam pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai
berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap :
pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai
dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran,
komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang
barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak mencantumkan tanggal
kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang rusak, cacat, atau
tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa
pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di
dalam dokumen dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b ) 2) Dihukum
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku usaha yang
melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan konsumen
dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral, pelaku usaha
yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan atau waktu
yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi iklan yang
tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.
Dari ketentuan-ketentuan pidana yang
disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh para pelaku usaha masih ada lagi
bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pencantuman
kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan kembali barang
yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian barang. Klausula baku tersebut
biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat
“Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” dan
pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai pidana, selama 5 (lima)
tahun penjara, pencantuman klausula tersebut secara hukum tidak ada gunanya
karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula
baku yang masuk dalam kualifikasi seperti, “barang yang sudah dibeli tidak
dapat ditukar atau dikembalikan” automatis batal demi hukum.
Namun dalam praktiknya, masih banyak
para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini peran polisi
ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman klausula baku
tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara penjualan dengan
cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang tersebut sebelumnya
sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan dengan
ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini dapat
diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda paling banyak
Rp.500 juta rupiah.
Dalam kenyataannya aparat penegak hukum
yang berwenang seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia
perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku usaha yang
jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan
konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi
urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat
(3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi
pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian(
Oktober 2004 )
A.
Sanksi
Perdata
:
a.
Ganti
rugi dalam bentuk :
b.
Pengembalian
uang atau
c.
Penggantian
barang atau
d.
Perawatan
kesehatan, dan/atau
e.
Pemberian
santunan
f.
Ganti
rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
B.
Sanksi
Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta
rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
C.
Sanksi
Pidana :
a.
Kurungan
:
a)
Penjara,
5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13
ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
b)
Penjara,
2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13
ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
c)
Ketentuan
pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan
Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
b.
Hukuman
tambahan , antara lain :
a)
Pengumuman
keputusan Hakim
b)
Pencabuttan
izin usaha;
c)
Dilarang
memperdagangkan barang dan jasa ;
d)
Wajib
menarik dari peredaran barang dan jasa;
e)
Hasil
Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
0 comments:
Post a Comment